Kamis, 16 Juli 2015

Apa Ini Cinta?

Apa Ini Cinta?
            “Jangan lupa PRnya dikerjakan. Jika tidak, maka satu kelas akan menanggung. Mengerti!”seru Bu Intan yang akrab disapa ‘Bu Killer’ dengan nada yang lantang. Aku pulang dengan berbagai tumpukan PR sekolah yang sangat membuatku sangat kesal. Ya, sekarang aku kelas 2 SMA. Namaku Lia Viokasari, panggilanku Vioka. Hidupku biasa-biasa saja. Urusan lelaki? Aku tidak berniat. Teman akrabku dimana tempatku mengeluh Vena selalu berkata padaku ‘Kau wanita favorit loh, banyak yang mengantri meminta nomormu tapi kau menolak dengan mengatakan bahwa kau tidak punya handphone. Lalu ada pria kemarin yang hanya bertanya namamu saja malah kau acuhkan. Kau memang ratu dingin, tipe pria bagaimana yang kau inginkan? Mmepunyai kekasih saat SMA itu hal yang wajar Vio.’ Aku hanya diam ketika Vena mengatakan seperti itu. Saat aku mendengar kata kekasih saja sudah muak semua karena masa laluku saat kelas 2 SMP. Aku berjalan pulang dan melihat sepasang kekasih saling berpegangan tangan, aku tersenyum melihatnya. Tapi tiba-tiba saja suasana mereka menjadi tegang dan aku melihat pria itu menampar kekasihnya. Tentu aku terkejut, terlebih lagi aku tidak bisa melihat kekerasan, dadaku selalu sesak melihat kekerasan. Aku berdiri dan memegang dadaku yang sesak ini. Lalu aku berbalik dan berlari ke taman untuk menenangkan diri. Sejak itu aku sangat membenci kata kekasih, hingga aku memutuskan kekasihku pada saat itu, memang trauma mengubah segalanya.

            Keesokan harinya seperti biasa. Aku membawa berbagai makalah untuk dikumpulkan hari ini,  saat aku ke kelas kulihat wanita berteriak-teriak mengelilingi seseorang yang duduk didepanku. Aku sangat kesal tentunya karena ini memnyulitkanku untuk belajar. Hingga bel berbunyi semua wanita keluar, dan aku bisa bernafas lega. “Excuse me, apa kau murid baru disini? Atau pindahan dari kelas lain?”tanyaku pelan “Aku murid baru disini, namaku Bryan”jawabnya “Baiklah Bryan, sangat mengganggu bukan dengan teriakan para wanita gila itu, mungkin kau bisa menyuruh mereka keluar.”seruku. Pria itu berbalik dan memiringkan alisnya, aku diam saja sambil mempersiapkan alat tulis untuk belajar. “Apa kau tidak tertarik padaku? Mereka seperti ini karena ketampananku bukan?”tanyanya “Hem... Bagaimana ya... aku lebih tertarik pada rumus fisika daripada dirimu”jawabku sambil tersenyum paksa. Pria itu kembali duduk semula, dan melanjutkan pelajaran. Bel istirahat berbunyi dan aku segera ke koperasi untuk membeli minuman. Saat dalam perjalanan tiba-tiba saja ada yang memegang tanganku. Tentu saja aku langsung menangkisnya dan mendapati anak baru yang norak itu. “Hei, ini aku Bryan. Kau pintar berkelahi juga. Sungguh wanita yang menarik, tidak heran jika kau jadi wanita favorit disini.”serunya. Aku melepaskannya dan terus berjalan tanpa memedulikannya. “Hei, mau kemana? Ke koperasikan? Kebetulan aku juga haus tapi aku tidak tahu dimana koperasi. Mumpung kita satu arah bareng saja ya.”katanya “Jangan terlalu percaya diri karena kau murid favorit disini. Aku tidak menyukainya, dan hal itu juga tidak pantas untuk berjalan seperti ini denganku”jawabku singkat. Aku pergi tanpa meliriknya sekalipun karena pria seperti itu akan berfikir bahwa ia bisa menaklukan semua jenis wanita. Tentu saja aku membencinya, aku benci pria.

            Bel pulang sekolah berbunyi, aku berteriak kegirangan karena hari ini aku sangat lelah. Banyak sekali beban yang ku tanggung dan menyerahkannya besok. Benar, PR sekolah membuatku stres. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke atap untuk menghirup udara. Tiba-tiba saja aku mendengar suara tangisan wanita, aku segera mencari asal suara itu dan mendapati perempuan yang berusaha untuk bunuh diri. Aku berusaha menghentikannya “Hei! Apa yang kau lakukan? Apa kau mencoba bunuh diri? Jangan lakukan itu, kumohon!”teriakku padanya dan berusaha untuk mendekatinya “Jangan mendekat atau aku akan menyayatnya di tanganku. Tidak usah jadi pahlawan. Kau tidak perlu menyelamatkan hidupku, karena aku sudah tidak ada gunanya lagi!”teriak wanita itu dengan terisak-isak. “Bunuh diri bukan jalan yang baik karena hanya akan menambah masalahmu. Ingatlah orang tuamu, A...” “Diam!”serunya memotong pembicaraanku “Kau tidak tahu hidupku seperti apa! Hiks.. hiks... Setiap berangkat sekolah aku harus melihat ibuku dipukul dengan sabuk oleh ayahku hanya karena ada setitik debu dilantai yang padahal tidak ada. Dan pulang melihat tangan ibuku berdarah karena lemparan benda. Dan ketika ayahku pualang, dia selalu dalam keadaan mabuk, saat itulah ibuku kesakitan karena harus menjadi pelampiasan ayahku.Apa kau akan tahan! Ha! Aku ingin mengakhirinya hiks... hiks..”ucapnya, itu membuatku teringat masa lalu yang sangat kelam. Aku duduk untuk menceritakan kisahku “Ternyata ada orang sama sepertiku, aku kira hanya aku disini. Saat itu aku berumur 5 tahun. Setiap hari aku melihat ibuku dianiaya hingga meninggal oleh  ayahku. Ketika ibuku meninggal, kau tahu apa yang terjadi? Saat aku telat bangun pagi untuk membersihkan rumah aku selalu dipukul dengan kayu hingga semua badanku biru. Pernah suatu kali saat aku tidak benar melipat baju, aku disulut putung rokok dan dicambuk habis-habisan, kakiku terkilir karena tidak mampu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh ayahku. Aku sangat takut saat itu, hingga membuat dadaku sesak setiap melihat kekerasan. Aku bahkan juga berfikir bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 2. Tapi tiba-tiba teringat kata ibuku yang selalu bilang jadilah anak yang baik, pintar, dan pandai berkelahi. Jadi kau tidak gampang untuk dianiaya orang. Ketika aku teringat kata itu aku berfikir aku harus pergi dari sini. Aku pun pergi, entah kemana pokoknya pergi dari rumah itu hingga aku ditemukan dengan kondisi yang sangat menyedihkan oleh sebuah keluarga yang terdiri dari seorang Ayah, Ibu, dan anak laki-laki yang sekarang menjadi kakakku. Saat pertama kali bertemu aku tidak mau mendekatinya karena aku berfikir mereka pasti jahat. Tapi ternyata tidak, mereka memberikan kebahagian dan mengajariku banyak hal terutama berkelahi. Masih ada kesempatan untukmu karena ibumu masih hidup, jika ibuku masih hidup aku akan melaporkannya pada polisi. Aku sangat menyesal saat menyadari itu. Tapi kuharap kau tidak menyesalinya. Jika kau benar ingin mati bukan seperti itu caranya. Kau hanya perlu melompat dari atap ini. Maka hidupmu benar-benar akan berakhir”ceritaku sambil menangis, lalu aku pergi meninggalkannya “Tunggu!”serunya “Kumohon biarkan aku menginap dirumahmu untuk menyelesaikan masalahku.”katanya. Aku berbalik dan tersenyum, tersenyum tulus untuk pertama kalinya. Aku membawa teman baruku yang senasib denganku, tentu aku sangat senang karena dapat membantunya.

            Keesokan harinya seperti biasa, aku bersekolah dengan teman baruku yang ternyata satu angkatan namun beda kelas. Dia dikucilkan karena sikapnya yang labil, mungkin karena dia mengalami tekanan yang sangat hebat di keluarganya sehingga sikapnya jadi labil. Aku berjalan ke kelas dan ketika aku masuk ada 2 orang anak laki-laki yang sedang berkelahi. Itu membuat dadaku sesak dan aku tidak bisa pergi, saat itu aku berusaha untuk mengatasi rasa sesak ini. Tapi, siapa ini? Apakah ini Vena? Tidak mungkin ini Vena, lengannya terlalu kekar dan keras. Dia merangkulku dan menutup mataku dengan sapu tangan “Kita sudah di taman. Apa kau merasa lebih baik? Kau tidak akan tahan melihat orang yang melakukan kekerasan bukan?”seru orang itu yang ternyata adalah anak laki-laki, aku menengok untuk melihat wajahnya dan terpaku. Dia adalah Bryan, bagaimana dia tahu. “Bagaimana kau tahu? Siapa kau? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”tanyaku tegang “Aku melihatmu di atap kemarin. Niatnya aku mau mencari udara segar setelah banyak sekali beban yang harus aku tanggung. Tapi aku mendengar suara teriakan dan melihatmu berbicara dengan seorang wanita. Aku mendengarkan ceritamu yang mampu membuat wanita itu sadar bahwa bunuh diri bukan jalan yang baik.”jelasnya “Terima Kasih”jawabku pelan dengan menundukan kepalaku. Tiba-tiba saja air mataku mengalir begitu saja, aku sangat senang ada orang yang mengerti dengan keadaanku selain keluargaku. Vena? Dia terlalu sibuk  dengan masalahnya jadi aku tidak enak jika terus menyusahkannya. “Kenapa menangis? Apakah aku salah? Maafkan aku”kata Bryan pelan “Tidak, aku yang harusnya minta maaf. Aku hanya senang ada orang yang akhirnya paham dengan keadaanku. Murid disini selalu menganggapku wanita si pencari perhatian namun jual mahal, aku berpura-pura sesak nafas agar para pria menolongku. Padahal tidak, sehingga saat dadaku sesak aku bingung harus kemana. Namun kau menolongku. Tentu aku sangat senang. Aku kira kau akan termakan gosip itu.”jelasku sambil tersenyum dengan air mata yang terus beruraian. Setelah kejadian itu, aku lebih akrab bersama Bryan. Hanya Bryan, karena hanya dia yang tahu kondisiku sebenarnya, aku percaya padanya karena dia orang yang baik. Aku menceritakan semuanya, tentang masa laluku yang kelam. Dan temanku yang bunuh diri itu, kembali dengan keluarga yang harmonis tanpa ada kekerasan.

            Hingga hari kelulusan tiba, Bryan datang padaku dan membawaku ke taman dimana dia menolongku. “Taman ini? Tempat kau menolongku bukan? Kenapa membawaku kesini?”tanyaku “Aku... Em, aku... Akan kuliah di Australia. Orang tuaku menyuruhku agar aku bisa melanjutkan bisnis ayahku. Dan mimpi kita untuk melanjutkan satu perguruan tinggi tidak akan tercapai. Memang sulit untuk menerima keputusan ini. Aku ingin mengatakannya padamu dari kemarin, namun keberanianku baru datang sekarang. Aku minta maaf padamu. Maafkan.. Aku Vioka.”jelasnya. Aku terkejut, tiba-tiba air mataku mulai keluar satu persatu “Em... Ba.. Baguslah kalau bisa melanjutkan perguruan di Australia. Ayahmu pasti sangat bangga padamu. Mimpi kita itu bukannya tidak terlalu penting. Semangat ya.”jawabku dengan air mata beruraian. Namun aku berusaha tersenyum, tersenyum paksa. Aku langsung pergi ke kamar mandi. Rasanya aku ingin berteriak. Tapi, tiba-tiba sebuah pertanyaan datang padaku ‘Apakah aku menyukainya? Apa ini cinta? Seperti inikah rasanya? Rasa yang tidak mau kehilangan.’ aku berusaha menghapus semua pertanyan itu dan memutuskan untuk pulang kerumah. Handphoneku berbunyi, ternyata ada pesan dari... Bryan.

From Bryan
            Besok aku akan berangkat jam 9 pagi ke bandara. Sebelum berangkat, aku akan menemuimu di taman, tempat kita pertama bertemu. Jam setengah 8 pagi aku sudah disana. Aku akan menunggumu, menunggumu Vioka. 

         Bagiamana ini, aku benar-benar menyayanginya. Aku tidak mau dia pergi, tapi bersekolah adalah hak dia. Aku terus memikirkannya hingga aku tertidur. Keesokan harinya aku bangun dan melihat jam, ternyata jam 8 pagi kurang 5 menit. Aku memikirkannya sekali lagi apakah aku harus datang atau tidak. Hingga aku memutuskan untuk datang. Aku segera cuci muka dan sikat gigi lalu berlari ke sekolah. Ketika di taman aku tidak melihat siapa-siapa, aku melihat jam tanganku dan menunjukan pukul setengah 9 pagi, seharusnya dia masih ada disini, menungguku. Aku menangis menyesal, seharusnya aku datang lebih pagi agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya. “Jangan menangis, aku selalu disini untukmu”terdengar suara seseorang yang sangat familiar. Aku berbalik dan melihat Bryan dengan 2 botol air mineral ditangannya. Aku berlari memeluknya “Kau tahu? Aku tidak pernah menyukai laki-laki, kau tahu alasannya. Aku pernah menceritakannya padamu. Tapi yang satu ini benar-benar berbeda. Aku tidak bisa mengucapkannya dengan kata-kata. Maafkan aku. Aku terlalu egois, aku tidak memikirkan apa yang kamu inginkan. Selama ini keinginanku yang selalu dipenuhi olehmu. Aku mencintaimu Bryan”kataku dengan terisak-isak “Aku juga... Mencintaimu Vioka”serunya pelan dan ia memelukku. “Hei, apakah kau belum mandi. Apa tega mengantarkan kekasihmu dalam keadaan belum mandi?”katanya sambil tertawa. Tentu saja aku tertawa. “You know who’s me”jawabku sambil tersenyum. Aku mengantarkannya ke bandara dan melihatnya pergi. Sedih tentunya, namun aku sangat percaya padanya bahwa dia sangat mencintaiku. Aku pun kembali kerumah, “Vioka, tadi ada nak Bryan kesini, tapi ku bilang kau tidak ada dirumah. Dia membawakan sesuatu ke kamarmu, cepat lihat sana”ucap ibuku. Aku berlari ke kamar dan melihat setangkai bunga mawar putih yang dikelilingi mawar merah, dan ada sebuah kotak kado kecil. Ketika aku membukanya ternyata adalah sapu tangan yang Bryan gunakan untuk menolongku saat dadaku sesak. Ada juga sepucuk surat yang bertuliskan “Apa sekarang kau lebih tertarik pada rumus fisika?” aku tertawa dan berseru dalam hati ‘Aku tertarik padamu, bodoh’.