Apa Ini Cinta?
“Jangan
lupa PRnya dikerjakan. Jika tidak, maka satu kelas akan menanggung.
Mengerti!”seru Bu Intan yang akrab disapa ‘Bu Killer’ dengan nada yang lantang.
Aku pulang dengan berbagai tumpukan PR sekolah yang sangat membuatku sangat
kesal. Ya, sekarang aku kelas 2 SMA. Namaku Lia Viokasari, panggilanku Vioka.
Hidupku biasa-biasa saja. Urusan lelaki? Aku tidak berniat. Teman akrabku
dimana tempatku mengeluh Vena selalu berkata padaku ‘Kau wanita favorit loh,
banyak yang mengantri meminta nomormu tapi kau menolak dengan mengatakan bahwa
kau tidak punya handphone. Lalu ada pria kemarin yang hanya bertanya namamu
saja malah kau acuhkan. Kau memang ratu dingin, tipe pria bagaimana yang kau
inginkan? Mmepunyai kekasih saat SMA itu hal yang wajar Vio.’ Aku hanya diam
ketika Vena mengatakan seperti itu. Saat aku mendengar kata kekasih saja sudah
muak semua karena masa laluku saat kelas 2 SMP. Aku berjalan pulang dan melihat
sepasang kekasih saling berpegangan tangan, aku tersenyum melihatnya. Tapi
tiba-tiba saja suasana mereka menjadi tegang dan aku melihat pria itu menampar
kekasihnya. Tentu aku terkejut, terlebih lagi aku tidak bisa melihat kekerasan,
dadaku selalu sesak melihat kekerasan. Aku berdiri dan memegang dadaku yang
sesak ini. Lalu aku berbalik dan berlari ke taman untuk menenangkan diri. Sejak
itu aku sangat membenci kata kekasih, hingga aku memutuskan kekasihku pada saat
itu, memang trauma mengubah segalanya.
Keesokan
harinya seperti biasa. Aku membawa berbagai makalah untuk dikumpulkan hari
ini, saat aku ke kelas kulihat wanita
berteriak-teriak mengelilingi seseorang yang duduk didepanku. Aku sangat kesal
tentunya karena ini memnyulitkanku untuk belajar. Hingga bel berbunyi semua
wanita keluar, dan aku bisa bernafas lega. “Excuse me, apa kau murid baru
disini? Atau pindahan dari kelas lain?”tanyaku pelan “Aku murid baru disini,
namaku Bryan”jawabnya “Baiklah Bryan, sangat mengganggu bukan dengan teriakan
para wanita gila itu, mungkin kau bisa menyuruh mereka keluar.”seruku. Pria itu
berbalik dan memiringkan alisnya, aku diam saja sambil mempersiapkan alat tulis
untuk belajar. “Apa kau tidak tertarik padaku? Mereka seperti ini karena
ketampananku bukan?”tanyanya “Hem... Bagaimana ya... aku lebih tertarik pada
rumus fisika daripada dirimu”jawabku sambil tersenyum paksa. Pria itu kembali
duduk semula, dan melanjutkan pelajaran. Bel istirahat berbunyi dan aku segera
ke koperasi untuk membeli minuman. Saat dalam perjalanan tiba-tiba saja ada
yang memegang tanganku. Tentu saja aku langsung menangkisnya dan mendapati anak
baru yang norak itu. “Hei, ini aku Bryan. Kau pintar berkelahi juga. Sungguh
wanita yang menarik, tidak heran jika kau jadi wanita favorit disini.”serunya.
Aku melepaskannya dan terus berjalan tanpa memedulikannya. “Hei, mau kemana? Ke
koperasikan? Kebetulan aku juga haus tapi aku tidak tahu dimana koperasi.
Mumpung kita satu arah bareng saja ya.”katanya “Jangan terlalu percaya diri karena
kau murid favorit disini. Aku tidak menyukainya, dan hal itu juga tidak pantas
untuk berjalan seperti ini denganku”jawabku singkat. Aku pergi tanpa meliriknya
sekalipun karena pria seperti itu akan berfikir bahwa ia bisa menaklukan semua
jenis wanita. Tentu saja aku membencinya, aku benci pria.
Bel
pulang sekolah berbunyi, aku berteriak kegirangan karena hari ini aku sangat
lelah. Banyak sekali beban yang ku tanggung dan menyerahkannya besok. Benar, PR
sekolah membuatku stres. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke atap untuk
menghirup udara. Tiba-tiba saja aku mendengar suara tangisan wanita, aku segera
mencari asal suara itu dan mendapati perempuan yang berusaha untuk bunuh diri.
Aku berusaha menghentikannya “Hei! Apa yang kau lakukan? Apa kau mencoba bunuh
diri? Jangan lakukan itu, kumohon!”teriakku padanya dan berusaha untuk
mendekatinya “Jangan mendekat atau aku akan menyayatnya di tanganku. Tidak usah
jadi pahlawan. Kau tidak perlu menyelamatkan hidupku, karena aku sudah tidak
ada gunanya lagi!”teriak wanita itu dengan terisak-isak. “Bunuh diri bukan
jalan yang baik karena hanya akan menambah masalahmu. Ingatlah orang tuamu,
A...” “Diam!”serunya memotong pembicaraanku “Kau tidak tahu hidupku seperti
apa! Hiks.. hiks... Setiap berangkat sekolah aku harus melihat ibuku dipukul
dengan sabuk oleh ayahku hanya karena ada setitik debu dilantai yang padahal
tidak ada. Dan pulang melihat tangan ibuku berdarah karena lemparan benda. Dan
ketika ayahku pualang, dia selalu dalam keadaan mabuk, saat itulah ibuku
kesakitan karena harus menjadi pelampiasan ayahku.Apa kau akan tahan! Ha! Aku
ingin mengakhirinya hiks... hiks..”ucapnya, itu membuatku teringat masa lalu
yang sangat kelam. Aku duduk untuk menceritakan kisahku “Ternyata ada orang
sama sepertiku, aku kira hanya aku disini. Saat itu aku berumur 5 tahun. Setiap
hari aku melihat ibuku dianiaya hingga meninggal oleh ayahku. Ketika ibuku meninggal, kau tahu apa
yang terjadi? Saat aku telat bangun pagi untuk membersihkan rumah aku selalu
dipukul dengan kayu hingga semua badanku biru. Pernah suatu kali saat aku tidak
benar melipat baju, aku disulut putung rokok dan dicambuk habis-habisan, kakiku
terkilir karena tidak mampu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh ayahku. Aku
sangat takut saat itu, hingga membuat dadaku sesak setiap melihat kekerasan.
Aku bahkan juga berfikir bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 2. Tapi
tiba-tiba teringat kata ibuku yang selalu bilang jadilah anak yang baik,
pintar, dan pandai berkelahi. Jadi kau tidak gampang untuk dianiaya orang.
Ketika aku teringat kata itu aku berfikir aku harus pergi dari sini. Aku pun
pergi, entah kemana pokoknya pergi dari rumah itu hingga aku ditemukan dengan
kondisi yang sangat menyedihkan oleh sebuah keluarga yang terdiri dari seorang
Ayah, Ibu, dan anak laki-laki yang sekarang menjadi kakakku. Saat pertama kali
bertemu aku tidak mau mendekatinya karena aku berfikir mereka pasti jahat. Tapi
ternyata tidak, mereka memberikan kebahagian dan mengajariku banyak hal
terutama berkelahi. Masih ada kesempatan untukmu karena ibumu masih hidup, jika
ibuku masih hidup aku akan melaporkannya pada polisi. Aku sangat menyesal saat
menyadari itu. Tapi kuharap kau tidak menyesalinya. Jika kau benar ingin mati
bukan seperti itu caranya. Kau hanya perlu melompat dari atap ini. Maka hidupmu
benar-benar akan berakhir”ceritaku sambil menangis, lalu aku pergi
meninggalkannya “Tunggu!”serunya “Kumohon biarkan aku menginap dirumahmu untuk
menyelesaikan masalahku.”katanya. Aku berbalik dan tersenyum, tersenyum tulus
untuk pertama kalinya. Aku membawa teman baruku yang senasib denganku, tentu
aku sangat senang karena dapat membantunya.
Keesokan
harinya seperti biasa, aku bersekolah dengan teman baruku yang ternyata satu
angkatan namun beda kelas. Dia dikucilkan karena sikapnya yang labil, mungkin
karena dia mengalami tekanan yang sangat hebat di keluarganya sehingga sikapnya
jadi labil. Aku berjalan ke kelas dan ketika aku masuk ada 2 orang anak
laki-laki yang sedang berkelahi. Itu membuat dadaku sesak dan aku tidak bisa pergi,
saat itu aku berusaha untuk mengatasi rasa sesak ini. Tapi, siapa ini? Apakah
ini Vena? Tidak mungkin ini Vena, lengannya terlalu kekar dan keras. Dia
merangkulku dan menutup mataku dengan sapu tangan “Kita sudah di taman. Apa kau
merasa lebih baik? Kau tidak akan tahan melihat orang yang melakukan kekerasan
bukan?”seru orang itu yang ternyata adalah anak laki-laki, aku menengok untuk melihat
wajahnya dan terpaku. Dia adalah Bryan, bagaimana dia tahu. “Bagaimana kau
tahu? Siapa kau? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”tanyaku tegang “Aku
melihatmu di atap kemarin. Niatnya aku mau mencari udara segar setelah banyak
sekali beban yang harus aku tanggung. Tapi aku mendengar suara teriakan dan melihatmu
berbicara dengan seorang wanita. Aku mendengarkan ceritamu yang mampu membuat
wanita itu sadar bahwa bunuh diri bukan jalan yang baik.”jelasnya “Terima
Kasih”jawabku pelan dengan menundukan kepalaku. Tiba-tiba saja air mataku
mengalir begitu saja, aku sangat senang ada orang yang mengerti dengan keadaanku
selain keluargaku. Vena? Dia terlalu sibuk
dengan masalahnya jadi aku tidak enak jika terus menyusahkannya. “Kenapa
menangis? Apakah aku salah? Maafkan aku”kata Bryan pelan “Tidak, aku yang
harusnya minta maaf. Aku hanya senang ada orang yang akhirnya paham dengan
keadaanku. Murid disini selalu menganggapku wanita si pencari perhatian namun
jual mahal, aku berpura-pura sesak nafas agar para pria menolongku. Padahal
tidak, sehingga saat dadaku sesak aku bingung harus kemana. Namun kau
menolongku. Tentu aku sangat senang. Aku kira kau akan termakan gosip itu.”jelasku
sambil tersenyum dengan air mata yang terus beruraian. Setelah kejadian itu,
aku lebih akrab bersama Bryan. Hanya Bryan, karena hanya dia yang tahu
kondisiku sebenarnya, aku percaya padanya karena dia orang yang baik. Aku
menceritakan semuanya, tentang masa laluku yang kelam. Dan temanku yang bunuh
diri itu, kembali dengan keluarga yang harmonis tanpa ada kekerasan.
Hingga
hari kelulusan tiba, Bryan datang padaku dan membawaku ke taman dimana dia
menolongku. “Taman ini? Tempat kau menolongku bukan? Kenapa membawaku
kesini?”tanyaku “Aku... Em, aku... Akan kuliah di Australia. Orang tuaku menyuruhku
agar aku bisa melanjutkan bisnis ayahku. Dan mimpi kita untuk melanjutkan satu
perguruan tinggi tidak akan tercapai. Memang sulit untuk menerima keputusan
ini. Aku ingin mengatakannya padamu dari kemarin, namun keberanianku baru
datang sekarang. Aku minta maaf padamu. Maafkan.. Aku Vioka.”jelasnya. Aku terkejut,
tiba-tiba air mataku mulai keluar satu persatu “Em... Ba.. Baguslah kalau bisa
melanjutkan perguruan di Australia. Ayahmu pasti sangat bangga padamu. Mimpi
kita itu bukannya tidak terlalu penting. Semangat ya.”jawabku dengan air mata
beruraian. Namun aku berusaha tersenyum, tersenyum paksa. Aku langsung pergi ke
kamar mandi. Rasanya aku ingin berteriak. Tapi, tiba-tiba sebuah pertanyaan
datang padaku ‘Apakah aku menyukainya? Apa ini cinta? Seperti inikah rasanya?
Rasa yang tidak mau kehilangan.’ aku berusaha menghapus semua pertanyan itu dan
memutuskan untuk pulang kerumah. Handphoneku berbunyi, ternyata ada pesan
dari... Bryan.
From Bryan
Besok
aku akan berangkat jam 9 pagi ke bandara. Sebelum berangkat, aku akan menemuimu
di taman, tempat kita pertama bertemu. Jam setengah 8 pagi aku sudah disana.
Aku akan menunggumu, menunggumu Vioka.
Bagiamana ini, aku benar-benar
menyayanginya. Aku tidak mau dia pergi, tapi bersekolah adalah hak dia. Aku
terus memikirkannya hingga aku tertidur. Keesokan harinya aku bangun dan
melihat jam, ternyata jam 8 pagi kurang 5 menit. Aku memikirkannya sekali lagi
apakah aku harus datang atau tidak. Hingga aku memutuskan untuk datang. Aku
segera cuci muka dan sikat gigi lalu berlari ke sekolah. Ketika di taman aku
tidak melihat siapa-siapa, aku melihat jam tanganku dan menunjukan pukul
setengah 9 pagi, seharusnya dia masih ada disini, menungguku. Aku menangis
menyesal, seharusnya aku datang lebih pagi agar aku bisa melihatnya untuk
terakhir kalinya. “Jangan menangis, aku selalu disini untukmu”terdengar suara
seseorang yang sangat familiar. Aku berbalik dan melihat Bryan dengan 2 botol
air mineral ditangannya. Aku berlari memeluknya “Kau tahu? Aku tidak pernah
menyukai laki-laki, kau tahu alasannya. Aku pernah menceritakannya padamu. Tapi
yang satu ini benar-benar berbeda. Aku tidak bisa mengucapkannya dengan
kata-kata. Maafkan aku. Aku terlalu egois, aku tidak memikirkan apa yang kamu
inginkan. Selama ini keinginanku yang selalu dipenuhi olehmu. Aku mencintaimu
Bryan”kataku dengan terisak-isak “Aku juga... Mencintaimu Vioka”serunya pelan
dan ia memelukku. “Hei, apakah kau belum mandi. Apa tega mengantarkan kekasihmu
dalam keadaan belum mandi?”katanya sambil tertawa. Tentu saja aku tertawa. “You
know who’s me”jawabku sambil tersenyum. Aku mengantarkannya ke bandara dan
melihatnya pergi. Sedih tentunya, namun aku sangat percaya padanya bahwa dia
sangat mencintaiku. Aku pun kembali kerumah, “Vioka, tadi ada nak Bryan kesini,
tapi ku bilang kau tidak ada dirumah. Dia membawakan sesuatu ke kamarmu, cepat
lihat sana”ucap ibuku. Aku berlari ke kamar dan melihat setangkai bunga mawar
putih yang dikelilingi mawar merah, dan ada sebuah kotak kado kecil. Ketika aku
membukanya ternyata adalah sapu tangan yang Bryan gunakan untuk menolongku saat
dadaku sesak. Ada juga sepucuk surat yang bertuliskan “Apa sekarang kau lebih
tertarik pada rumus fisika?” aku tertawa dan berseru dalam hati ‘Aku tertarik
padamu, bodoh’.